Jumat, 17 Juli 2020

Nilai Kemanusiaan di Balik Ritual Adat dan Apem Dumbo



Bangsa kita memang kaya akan adat dan budaya yang tidak dimiliki oleh Negara-negara di seluruh dunia. Bahkan hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Negara asing untuk singgah di Negara kita sekedar melihat dan menyaksikan prosesi adat dan budaya itu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa adat merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Dan sistem inilah yang kemudian diyakini oleh masyarakat untuk terus dijalankan.

Hampir seluruh wilayah di seantero nusantara memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Bahkan di setiap desa pun sebagai satuan pemerintahan terkecil di Negara ini memiliki adat dan budaya sendiri-sendiri. Hal ini tidak ubahnya terjadi di desa Ngadirenggo kecamatan Pogalan Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Desa yang memiliki 5.000 lebih jumlah penduduk ini memiliki adat dan kebudayaan yang tidak dimiliki oleh desa lain.

Masyarakat desa ini memiliki adat dan budaya Nyadran. Banyak desa yang memiliki budaya Nyadran, namun adatnya yang berbeda. Di desa ini kegiatan Nyadran dilaksanakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada hari Jumat Wage di bulan Jawa selo. Bukan tanggal yang menjadi patokan, tapi hari dan pasaran Jawa. Setiap hari Jumat Wage bulan Jawa Selo secara turun-temurun warga masyarakat desa melaksanakan berbagai ritual untuk menuju kebaikan.

Kegiatan biasanya dimulai pada hari Kamis setelah sholat Subuh. Di seluruh masjid dilaksanakan kegiatan membaca Al Qur’an sampai Khatam secara bersamaan. Malam harinya setelah sholat Maghrib digelar doa bersama di seluruh masjid dan mushola desa. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan doa bersama secara masal di Pendapa Balai Desa yang dipimpin oleh seluruh Kyai pemangku masjid dan mushola.

Kegiatan ini berfokus untuk mendoakan para pejuang Desa terutama tiga tokoh sentral yang dipercaya “mbabat” desa Ngadirenggo. Yaitu Syeh Dumbo, Syeh Bodo dan Syeh Cokrosuto. Syeh Dumbo dimakamkan di puncak gunung Kebo. Sedangkan Syeh Bodo dan syeh Cokrosuto dimakamkan di bagian bukit gunung yang berada di desa Ngadirenggo ini.

Malam Jumat Wage menjadi malam tirakatan bagi warga desa. Setelah dilaksanakan acara doa bersama secara masal di pendapa Balai Desa, berikutnya dilanjutkan acara tirakatan di area makam ketiga tokoh sentral desa ini. Bentuk kegiatannya tetap berupa doa bersama. Dan pagi harinya setelah sholat Subuh dilanjutkan dengan acara doa bersama kembali secara masal di puncak gunung Kebo, tepatnya di area makam Syeh Dumbo.

Kegiatan inilah yang biasanya ditunggu-tunggu oleh warga masyarakat secara umum. Bahkan dalam kegiatan ini tidak sedikit warga yang berasal dari luar desa juga dari luar Kabupaten. Untuk mengikuti acara ritual ini membutuhkah sebuah perjuangan yang dramatis. Di pagi hari sebelum sinar matahari tampak, kita harus berduyun-duyun bersama warga lain untuk naik ke puncak gunung melalui jalan setapak yang memang sudah disiapkan dan dibersihkan sebelumnya. Dalam perjalanan ini, warga naik dengan membawa “ubo rampe” berupa nasi gurih dan ayam lodho yang ditaruh di atas “encek”. Encek merupakan tempat makanan yang terbuat dari pelepah pohon pisang yang ditata dengan pecahan bambu.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan dalam ritual ini adalah apem dumbo. Makanan khas desa Ngadirenggo yang dibuat hanya saat kegiatan ritual. Kita tidak akan menemukan makanan ini di hari-hari biasa, termasuk di desa Ngadirenggo sekalipun. Apem dumbo merupakan makanan yang bahan utamanya tepung beras yang kemudian dicampur cairan berbahan utama gula merah. Saat ritual, makanan ini juga dihidangkan di atas “encek” sama seperti makanan lainnya.

Perjalanan menuju puncak sangat menarik. Selain memang warga tidak dapat berjalan dengan cepat karena harus bergantian dengan warga yang membawa makanan sebagai sedekah dari rizki yang didapat selama satu tahun. Nuansa estetis muncul kala warga harus berjalan di kegelapan dengan hanya ditemani sinar api dari “oncor” dan semburat sinar rembulan. Sehingga, tidak sedikit para pengunjung yang berswafoto untuk mengabadikan momen sekali dalam satu tahun ini.

Setelah seluruh persiapan di puncak selesai, kegiatan ritualpun dimulai. Tabur bunga menjadi kegiatan awal. Kemudian dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang pemuka agama yang ditunjuk. Proses ritual sangat khusyuk. Seluruh pengunjungpun wajib untuk mengikutinya. yang menarik lagi, konon katanya area puncak gunung akan selalu mampu menampung berapapun jumlah pengunjung yang mengikuti ritual satu tahun sekali ini.

Setelah proses ritual selesai, berikutnya dilanjutkan dengan pembagian sedekah makanan kepada seluruh pengunjung. Tentunya pembagian ini di tempat yang sudah disiapkan. Pengunjung bebas mengambil sendiri tanpa harus membayar. Karena memang sengaja disediakan oleh warga sebagai sedekah dari seluruh rizki yang didapat selama satu tahun.

Kegiatan dilanjutkan di lingkungannya masing-masing. Mulai dari berdoa bersama warga lingkungan di tempat yang telah ditetapkan, membersihkan lingkungan masing-masing, membuka tempat pengumpulan sedekah berupa apem dumbo dengan tujuan disediakan khusus kepada sanak saudara atau teman dari luar desa yang berkunjung.

Kegiatan tidak berhenti di situ saja. Jumat malam diadakan pagelaran wayang kulit sekaligus ruwatan semalam suntuk. Hari Sabtu giliran Karang Taruna Desa mengadakan kegiatan pertunjukan seni di tiap wilayah perdukuhannya dan hari Minggu dilaksanakan Kirab atau Pawai Budaya. Menariknya, dalam setiap tahapan kegiatan ini, makanan utama yang disediakan oleh warga adalah apem dumbo. Sehingga apem dumbo menjadi icon makanan di desa Ngadirenggo saat kegiatan tahunan ini dilaksanakan. Termasuk di tahun ini. Walaupun pelaksanaannya sedikit berbeda akibat munculnya pandemi covid-19 di negeri ini. Sehingga ada beberapa kegiatan yang tidak dijalankan. Tapi untuk kegiatan ritual inti tetap berjalan.

Setidaknya ada beberapa poin positif yang dapat kita petik dari berjalannya ritual adat dan budaya tahunan ini. (1) Masyarakat selalu diingatkan dan tidak melupakan sejarah panjang perjuangan para pendahulunya. (2) Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena selama prosesi selalu mengutamakan doa bersama. (3) Mempererat rasa kekeluargaan antar warga. (4) Menghidupkan kembali semangat gotong-royong di lingkungan. (5) Membiasakan diri untuk hidup bersih secara lahir maupun batin. (6) Bersama-sama dengan seluruh warga dan Pemerintah Desa untuk melahirkan semangat “mbangun desa”. (7) Melestarikan adat dan budaya. (8) Membiasakan untuk tidak melupakan sedekah dan berbagi kepada sesama.

Banyak hal yang dapat dipetik dari perjalanan adat dan budaya yang ada di Negara kita. tidak hanya sekedar hiburan belaka, namun memiliki nilai yang sangat mendalam. Nilai yang mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik dan lebih bermakna.

3 komentar: