Tahun 2022 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi bangsa
Indonesia. Hampir di seluruh bidang mengalami guncangan, termasuk dunia
pendidikan. Perubahan cara belajar yang baru dari daring selama kurang lebih
tiga tahun menjadi kembali luring membuat sebagian orang kembali terkaget.
Bukan karena suka atau tidak suka, namun lebih pada permasalahan kesiapan mental
dalam menghadapinya. Ada sebagian pelaku pendidikan yang memang sudah siap
melaksanakannya, tapi ada juga yang belum siap sama sekali dalam menghadapinya
karena “terninabobokkan” oleh pembiasaan daring.
Perubahan cara belajar dari tatap maya untuk kembali menjadi tatap muka
memang membutuhkan niat dan motivasi yang luar biasa, terlebih bagi anak-anak
kta.
Kadang kita mendengar ada anak yang mengeluh dengan dikembalikannya
pada cara belajar sebelumnya (sebelum pandemi). Mereka beranggapan rutinitas
hidupnya harus berubah drastis. Mereka harus kembali bangun pagi, menyiapkan
semua proses pendidikan di sekolah, dan menjalankan kegiatan dalam waktu yang
panjang.
Atas dasar ketidaksiapan dan masih dalam proses adaptasi inilah
yang menjadi senjata ampuh bagi sebagian kecil anak-anak kita untuk tidak
melaksanakan aturan yang telah disepakati bersama di sekolah.
Tidak ayal kita sebagai pendidik sering mendapati peserta didik
yang datang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Alasan klasik yang
selalu dimunculkan adalah terlambat bangun akibat belum terbiasa karena masih
dalam masa transisi usai pandemi. Ini kadang membuat pendidik benar-benar diuji
kesabarannya dalam rangka menguatkan karakter peserta didik menjadi lebih baik.
Namun, kita tidak boleh tinggal diam, apalagi hilang kesabaran. Jika
semua hanya meluapkannya dengan energi negatif belaka, maka kita tidak akan
mendapatkan apa-apa. Sedapat mungkin harus mencoba mencari solusi untuk tetap
bertahan menjadi penuntun bagi anak-anak kita menuju lahirnya kembali
pembiasaan yang positif. Jika menyerah, maka pendidikan anak bangsa yang menjadi
taruhannya. Generasi pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini hanya
akan menjadi sebuah pertanyaan.
Tugas utama kita adalah “menyuntikkan” kembali semangat kepada anak-anak
yang belum mampu kembali dari “tidur panjangnya”. Karena anak-anak kita menjadi
titik fokus dalam dunia pendidikan.
Hal yang perlu kita lakukan adalah memberikan kesempatan kepada
mereka untuk menceritakan apa masalah yang mereka hadapi sehingga kebiasaan
baru untuk taat aturan belum bisa dikembalikan. Pendidik harus sabar menjadi
pendengar setia bagi anak-anaknya. Baru setelah mereka puas bercerita, kita
dapat menangkap dan memberikan pemantik kepada anak-anak kita untuk melahirkan
keinginan menjadi lebih baik dari dalam dirinya. Secara perlahan keingan untuk
menjadi lebih baik akan terlahir dengan sendirinya. Dengan demikian kita
tinggal memberikan motivasi sebagai penguat untuk memantapkan keinginan dalam
upaya menjalankan kesepakatan.
Butuh orang-orang yang mampu memberikan motovasi dan pendampingan
kepada mereka, agar mereka tetap memiliki semangat yang benar-benar tertancap.
Karena ketika semangat mereka luntur, maka akan mudah sekali untuk kembali terjerumus
dalam kebiasaan yang kurang mendidik.
Untuk itu, di saat kita telah melaksanakan berbagai strategi demi
lahirnya kembali semangat anak-anak kita menjadi lebih baik, maka saat itu pula
kita juga harus mau dan mampu menggerakkan orang-orang di sekitar kita
melaksanakan hal yang sama.
Sesuatu yang baik tidak cukup dilakukan sendiri. Sesuatu yang baik
membutuhkan kebersamaan untuk menjalankan. Dengan kebersamaan yang dilandasi
kesamaan tujuan, maka keyakinan untuk dapat mengembalikan kebiasaan seperti
sebelum masa “tidur panjang” akan benar-benar kembali terlahirkan.