2021 menjadi tahun kedua pandemi COVID-19 menggegerkan negeri ini.
Banyak tatanan yang berubah untuk menyesuaikan situasi dan kondisi. Tidak pernah
terbayangkan bahwa pandemi akan menyebabkan derita kemanusiaan yang begitu
mendalam. Bahkan dalam waktu singkat mampu menyebar dengan cepat dalam skala
luas dan menimbulkan banyak korban jiwa. Lebih jauh, pandemi juga mampu
menggoyahkan nilai dan norma sosial budaya yang telah berkembang dan dianut
oleh masyarakat selama ini.
Tahun ini dapat dikatakan menjadi tahun yang penuh tantangan. Hampir
di seluruh bidang mengalami guncangan. Perubahan tatanan yang mendadak membuat
sebagian orang terkaget. Bukan karena suka atau tidak suka, namun lebih pada
permasalahan kesiapan dalam menghadapinya. Ada orang yang memang sudah siap
melaksanakannya, tapi ada juga yang belum siap sama sekali dalam penerapannya.
Pemberlakuan sekolah secara daring, pengurangan kunjungan pada
tempat-tempat tertentu, perubahan kebiasaan dengan menerapkan protokol
kesehatan, bahkan pembatasan kegiatan sosial budaya yang menjadi adat dan kebiasaan
yang sangat melekat dalam kehidupan.
Bangsa kita kaya akan adat dan budaya yang tidak dimiliki oleh
Negara-negara di seluruh dunia. Bahkan hal ini menjadi daya tarik tersendiri
bagi warga Negara asing untuk singgah di Negara kita sekedar melihat dan
menyaksikan prosesi adat dan budaya itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa adat merupakan
aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala. Adat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem. Dan sistem inilah yang kemudian diyakini oleh masyarakat untuk
terus dijalankan.
Hampir seluruh wilayah di seantero nusantara memiliki adat dan budaya
yang berbeda-beda. Bahkan di setiap desa pun sebagai satuan pemerintahan
terkecil di Negara ini memiliki adat dan budaya sendiri-sendiri. Hal ini tidak
ubahnya terjadi di desa Ngadirenggo kecamatan Pogalan Kabupaten Trenggalek Jawa
Timur. Desa yang memiliki 5.000 lebih jumlah penduduk ini memiliki adat dan
kebudayaan yang tidak dimiliki oleh desa lain.
Masyarakat desa ini memiliki adat dan budaya Nyadran. Banyak desa yang
memiliki budaya Nyadran, namun adatnya yang berbeda. Di desa ini kegiatan
Nyadran dilaksanakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada hari Jumat Wage di
bulan Jawa selo. Bukan tanggal yang menjadi patokan, tapi hari dan pasaran
Jawa. Setiap hari Jumat Wage bulan Jawa Selo secara turun-temurun warga
masyarakat desa melaksanakan berbagai ritual untuk menuju kebaikan.
Kegiatan biasanya dimulai pada hari Kamis setelah sholat Subuh. Di
seluruh masjid dilaksanakan kegiatan membaca Al Qur’an sampai Khatam secara
bersamaan. Malam harinya setelah sholat Maghrib digelar doa bersama di seluruh
masjid dan mushola desa. Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan doa bersama
secara masal di Pendapa Balai Desa yang dipimpin oleh seluruh Kyai pemangku
masjid dan mushola.
Kegiatan ini berfokus untuk mendoakan para pejuang Desa terutama tiga
tokoh sentral yang dipercaya “mbabat” desa Ngadirenggo. Yaitu Syeh Dumbo, Syeh
Bodo dan Syeh Cokrosuto. Syeh Dumbo dimakamkan di puncak gunung Kebo. Sedangkan
Syeh Bodo dan syeh Cokrosuto dimakamkan di bagian bukit gunung yang berada di
desa Ngadirenggo ini.
Malam Jumat Wage menjadi malam tirakatan bagi warga desa. Setelah
dilaksanakan acara doa bersama secara masal di pendapa Balai Desa, berikutnya
dilanjutkan acara tirakatan di area makam ketiga tokoh sentral desa ini. Bentuk
kegiatannya tetap berupa doa bersama. Dan pagi harinya setelah sholat Subuh
dilanjutkan dengan acara doa bersama kembali secara masal di puncak gunung
Kebo, tepatnya di area makam Syeh Dumbo.
Kegiatan inilah yang biasanya ditunggu-tunggu oleh warga masyarakat
secara umum. Bahkan dalam kegiatan ini tidak sedikit warga yang berasal dari
luar desa juga dari luar Kabupaten. Untuk mengikuti acara ritual ini
membutuhkah sebuah perjuangan yang dramatis. Di pagi hari sebelum sinar
matahari tampak, kita harus berduyun-duyun bersama warga lain untuk naik ke puncak
gunung melalui jalan setapak yang memang sudah disiapkan dan dibersihkan
sebelumnya. Dalam perjalanan ini, warga naik dengan membawa “ubo rampe” berupa
nasi gurih dan ayam lodho. Persembahan nasi gurih dan ayam lodho melambangkan
sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari Rosulullah agar acara yang
dilaksanakan diijabah oleh Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, juga menjadi simbol
perwujudan rasa syukur dan meminta keselamatan.
Nasi gurih dan lodho ini ditaruh di atas “encek”. Encek merupakan
tempat makanan yang terbuat dari pelepah pohon pisang yang ditata dengan
pecahan bambu. Encek memiliki makna menanti cahaya surga. Hal ini tersirat dari
keberadaan pelepah pisang dan janur yang memiliki filosofi surga yang agung. Ada
juga yang mengatakan encek merupakan sebuah harapan atau cita-cita yang besar.
Satu lagi yang tidak boleh dilupakan dalam ritual ini adalah apem
dumbo. Makanan khas desa Ngadirenggo yang dibuat hanya saat kegiatan ritual. Kita
tidak akan menemukan makanan ini di hari-hari biasa, termasuk di desa
Ngadirenggo sekalipun. Apem dumbo merupakan makanan yang bahan utamanya tepung
beras yang kemudian dicampur cairan berbahan utama gula merah. Namun, di balik
bahannya yang begitu sederhana, makanan ini memiliki makna yang sangat mendalam.
Apem merupakan simbol dari pengampunan atau memohon ampun atas segala
kesalahan. Selain itu, apem juga menjadi simbol kesederhanaan dan kebersamaan. Makanan
ini juga dihidangkan di atas “encek” sama seperti makanan lainnya.
Perjalanan menuju puncak sangat menarik. Selain memang warga tidak
dapat berjalan dengan cepat karena harus bergantian dengan warga yang membawa
makanan sebagai sedekah dari rizki yang didapat selama satu tahun. Nuansa
estetis muncul kala warga harus berjalan di kegelapan dengan hanya ditemani
sinar api dari “oncor” dan semburat sinar rembulan. Sehingga, tidak sedikit
para pengunjung yang berswafoto untuk mengabadikan momen sekali dalam satu
tahun ini.
Setelah seluruh persiapan di puncak selesai, kegiatan ritualpun
dimulai. Tabur bunga menjadi kegiatan awal. Kemudian dilanjutkan dengan doa
bersama yang dipimpin oleh seorang pemuka agama yang ditunjuk. Proses ritual
sangat khusyuk. Seluruh pengunjungpun wajib untuk mengikutinya. Yang menarik
lagi, konon katanya area puncak gunung akan selalu mampu menampung berapapun
jumlah pengunjung yang mengikuti ritual satu tahun sekali ini.
Setelah proses ritual selesai, berikutnya dilanjutkan dengan pembagian
sedekah makanan kepada seluruh pengunjung. Tentunya pembagian ini di tempat
yang sudah disiapkan. Pengunjung bebas mengambil sendiri tanpa harus membayar.
Karena memang sengaja disediakan oleh warga sebagai sedekah dari seluruh rizki
yang didapat selama satu tahun.
Kegiatan dilanjutkan di lingkungannya masing-masing. Mulai dari berdoa
bersama warga lingkungan di tempat yang telah ditetapkan dan yang dianggap
memiliki nilai kesucian, membersihkan lingkungan masing-masing, membuka tempat
pengumpulan sedekah berupa apem dumbo dengan tujuan disediakan khusus kepada
sanak saudara atau teman dari luar desa yang berkunjung.
Kegiatan tidak berhenti di situ saja. Jumat malam diadakan pagelaran
wayang kulit sekaligus ruwatan semalam suntuk. Hari Sabtu giliran Karang Taruna
Desa mengadakan kegiatan pertunjukan seni di tiap wilayah perdukuhannya dan
hari Minggu dilaksanakan Kirab atau Pawai Budaya. Menariknya, dalam setiap
tahapan kegiatan ini, makanan utama yang disediakan oleh warga adalah apem
dumbo. Sehingga apem dumbo menjadi icon makanan di desa Ngadirenggo saat
kegiatan tahunan ini dilaksanakan. Termasuk di tahun ini. Walaupun
pelaksanaannya sedikit berbeda akibat munculnya pandemi covid-19 di negeri ini.
Sehingga ada beberapa kegiatan yang tidak dijalankan. Tapi untuk kegiatan
ritual inti tetap berjalan.
Setidaknya ada beberapa poin positif yang dapat kita petik dari
berjalannya ritual adat dan budaya tahunan ini. (1) Masyarakat selalu
diingatkan dan tidak melupakan sejarah panjang perjuangan para pendahulunya.
(2) Lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena selama prosesi
selalu mengutamakan doa bersama. (3) Mempererat rasa kekeluargaan antar warga.
(4) Menghidupkan kembali semangat gotong-royong di lingkungan. (5) Membiasakan
diri untuk hidup bersih secara lahir maupun batin. (6) Bersama-sama dengan seluruh
warga dan Pemerintah Desa untuk melahirkan semangat “mbangun desa”. (7)
Melestarikan adat dan budaya. (8) Membiasakan untuk tidak melupakan sedekah dan
berbagi kepada sesama.
Banyak hal yang dapat dipetik dari perjalanan adat dan budaya yang ada
di Negara kita. tidak hanya sekedar hiburan belaka, namun memiliki nilai yang
sangat mendalam. Nilai yang mampu mengubah hidup kita menjadi lebih baik dan
lebih bermakna.
Trenggalek, 2 Juli 2021