Sabtu, 26 Juni 2021

Memetik "Buah" di Balik Tradisi Bajak Sawah

 


Datangnya musim penghujan sangat dinantikan oleh sebagian warga desa, bahkan lebih. Saat musim penghujan tiba, kita dapat melihat suasana berbeda di wilayah pedesaan yang menjadi soko guru perekonomian bangsa.

Menengok jauh ke belakang, sejarah Indonesia tidak terlepas dari pertanian. Bahkan ada yang berpendapat bahwa di era kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan mataram kuno pertanian menjadi penopang utama kehidupan rakyatnya selain dari perdagangan.

Indonesia menjadi salah satu Negara penghasil pertanian yang cukup besar. Semua itu sekali lagi tidak dapat kita pungkiri bahwa peran masyarakat desa khususnya petani desa sangat menentukan. Mereka selalu mendedikasikan dirinya bahkan sepenuhnya untuk berproses di sawah mereka. Pemandangan yang indah dapat kita lihat dan nikmati saat awal musim penghujan tiba. Keramaian sawah tak terelakkan. Mereka saling bercengkerama antara satu sama lain. Namun, pekerjaan yang menjadi fokus utamnya tetap berjalan.

Proses penggarapan sawah dimulai dengan membajak sawah. Kita dapat melihat bagaimana proses itu berjalan. Ada perbedaan antara membajak di era dulu dengan sekarang. Perbedaan yang mencolok ada pada alat yang digunakan. Jika era dulu membajak menggunakan sapi atau kerbau berikut alatnya, tapi di era sekarang sudah beralih ke mesin.

Kita tidak melihat proses dan hasilnya. Karena proses dan hasil itu kapanpun dapat kita lihat dengan kasat mata. Namun, ada nilai yang kita petik dari proses membajak itu.

Kita tahu, banyak nilai yang dapat kita ambil dari proses membajak secara tradisional. Tulisan-tulisan sebelumnya telah mengulas tuntas terkait dengan hal itu. Mulai dengan makna tiap-tiap bagiannya, misalnya pegangan, pancadan, tanding atau pasak, singkal, kejen atau mata bajak, olang-aling, racuk dan lain sebagainya. Semuanya memiliki ajaran filosofi yang tinggi. Dan ini juga menjadi ciri khas orang jawa yang setiap lakunya memiliki ajaran filosofi yang dapat kita petik.

Membajak sawah secara tradisional menggunakan tenaga hewan ternak. Biasanya sapi atau kerbau. Dari situpun kita juga dapat memetik ajaran filosofinya. Kita dapat belajar dari sapi yang dipakai untuk membajak. Saat ia mondar-mandir keliling dengan alat bajaknya, sambil berjalan sapi mencoba mengambil rumput di sisi kanan dan kiri kemudian memakannya. Hal itu menyimpan makna yang mendalam. Fokusnya adalah melaksanakan kebaikan, sedangkan untuk kebutuhan hidup pribadinya pasti sudah ada di setiap perjalanan menuju kebaikan itu.

Di era sekarang sudah banyak yang beralih ke mesin. Alat bajak sawah yang canggih sudah mulai mungubah pola dan strategi pertanian menjadi yang lebih efektif. Walaupun di tempat-tempat tertentu masih ada yang tetap menggunakan cara tradisional. Membajak sawah menggunakan mesin bukan berarti nihil nilai. Tapi, tetap banyak yang dapat kita ambil ajarannya.

Pada dasarnya polanya sama, hanya saja sudah tidak menggunakan tenaga hewan. Sehingga masing-masing bagian alatnya tetap menyimpan ajaran filosofi yang dalam. Namun, ada satu yang mencuri perhatian saat kita melihat proses membajak sawah dengan mesin. Terlihat lebih mudah, tapi sebenarnya pengendali mesin juga memerlukan kemampuan yang lebih. Dia harus menggunakan seluruh tenaganya untuk memegang dan mengendalikan mesin, tapi di sisi lain juga butuh kecerdasan untuk fokus mengarahkannya sesuai dengan target. Tidak hanya itu, hati dan perasaannyapun juga ikut digerakkan.

Kita dapat mengamati bahwa seseorang yang menjalankan mesin pembajak sawah sama dengan menjalankan hidup. Dia harus selalu memegang pegangan mesinnya. Sekali lepas, pasti mesin itu akan oling. Sama dengan hidup ini, sekali kita melepas pegangan hidup (agama atau kepercayaan), maka dapat dipastikan hidup kitapun juga akan berantakan.